Selasa, 18 Oktober 2011

Apa yang Dilakukan di Miqat?

hram adalah manasik haji pertama, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam manasik, dinamakan ihram karena dengan niat tersebut seorang muslim diharamkan apa yang sebelumnya muba
Sebelum ihram dianjurkan mempersiapkan diri dengan melakukan beberapa hal untuk menyambut ibadah besar tersebut, yaitu:
Pertama, mandi dengan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air, karena Nabi saw mandi saat hendak ihram. Mandi ini dianjurkan termasuk wanita haid dan nifas. Nabi saw memerintahkan Asma` binti Umais saat dia sedang nifas untuk mandi, diriwayatkan oleh Muslim 2900. Nabi saw memerintahkan Aisyah untuk mandi saat hendak ihram untuk haji padahal saat itu dia sedang haid. Diriwayatkan oleh Muslim 2929.

Kedua, dianjurkan untuk membersihkan diri dengan memotong rambut yang patut dipotong seperti kumis, bulu ketiak dan bulu kelamin yang memang harus dicukur, agar pada saat ihram dia tidak perlu memotongnya karena memang dilarang, namun jika dirasa tidak perlu maka tidak perlu, karena hal ini dilakukan sebatas kebutuhan, bukan termasuk kekhususan ihram, ia dianjurkan menurut kebutuhan.

Ketiga, dianjurkan untuk memakai minyak wangi di tubuh, berdasarkan ucapan Aisyah, “Aku memberi Rasulullah saw minyak wangi sebelum beliau berihram dan setelah beliau tahallul sebelum thawaf di Ka’bah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 2818.

Keempat, laki-laki dianjurkan sebelum berihram untuk melepas pakaian berjahit, yaitu semua kain yang dijahit selebar tubuh manusia atau sebagian tubuhnya, karena Nabi saw melakukan hal ini saat berihram, baju-baju berjahit ini diganti dengan dua helai kain putih yang bersih, boleh dengan selain putih kalau memang kaum laki-laki biasa memakainya.

Melepaskan baju berjahit sebelum berniat ihram adalah sunnah, adapun setelah niat ihram maka ia wajib. Seandainya dia berniat ihram dengan pakaian berjahit maka ihramnya tetap sah dan dia harus melepaskan baju berjahitnya tersebut.

Untuk wanita, tidak ada pakaian khusus ihram, sebaliknya pakaiannya adalah pakaian kesehariannya. Bila saat tiba di miqat, seorang wanita dalam keadaan haid, maka dia tetap berihram sama dengan lainnya, karena haid tidak menghalangi ihram, hanya saja dia menahan diri untuk tidak thawaf sampai suci, bila sudah suci maka dia mulai manasiknya tanpa perlu mengulang ihramnya.

Jika orang yang hendak haji atau umrah telah melakukan apa yang disebutkan di atas, maka dia dalam kondisi siap ihram, melakukan hal-hal di atas bukan merupakan ihram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam, karena ihram sendiri adalah niat untuk masuk dan memulai manasik.

Adapun shalat sebelum ihram, maka ihram tidak mempunyai shalat yang khusus dengannya, akan tetapi jika bertepatan dengan shalat fardhu maka ihram dilakukan setelahnya, karena Nabi saw berihram setelah shalat dan dari Anas bahwa beliau shalat Zhuhur kemudian naik ke kendaraannya, lalu berihram di atasnya. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak dinukil dari Nabi saw bahwa beliau shalat dua rakaat untuk ihram selain Zhuhur.”

Ada satu hal yang patut diperhatikan, tidak sedikit jamaah haji yang menyangka bahwa ihram harus dilakukan di masjid yang dibangun di miqat, mereka berebut masuk ke sana laki-laki dengan wanita berdesak-desakan, mereka melepaskan baju mereka di sana yang kadang-kadang tidak memperhatikan sekitarnya, lalu menggantinya dengan baju ihram, hal ini tidak berdasar.

Yang patut dilakukan seorang muslim adalah berihram di miqat, di bagian mana pun dari miqat, bukan di tempat tertentu darinya, cukup di tempat yang mudah baginya, yang lebih mudah baginya dan bagi orang-orang yang bersamanya, di tempat yang lebih tertutup dan tidak berdesak-desakan.

Masjid-masjid di miqat-miqat saat ini tidak ada di zaman Nabi saw, ia tidak dibangun untuk berihram darinya, akan tetapi untuk menegakkan shalat di sana untuk orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Selanjutnya adalah berniat melakukan manasik yang dimaksud, berdasarkan sabda Nabi,

Senin, 17 Oktober 2011

Apa yang Dilakukan di Miqat?

Ihram adalah manasik haji pertama, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam manasik, dinamakan ihram karena dengan niat tersebut seorang muslim diharamkan apa yang sebelumnya mubah.

Sebelum ihram dianjurkan mempersiapkan diri dengan melakukan beberapa hal untuk menyambut ibadah besar tersebut, yaitu:
Pertama, mandi dengan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air, karena Nabi saw mandi saat hendak ihram. Mandi ini dianjurkan termasuk wanita haid dan nifas. Nabi saw memerintahkan Asma` binti Umais saat dia sedang nifas untuk mandi, diriwayatkan oleh Muslim 2900. Nabi saw memerintahkan Aisyah untuk mandi saat hendak ihram untuk haji padahal saat itu dia sedang haid. Diriwayatkan oleh Muslim 2929.

Kedua, dianjurkan untuk membersihkan diri dengan memotong rambut yang patut dipotong seperti kumis, bulu ketiak dan bulu kelamin yang memang harus dicukur, agar pada saat ihram dia tidak perlu memotongnya karena memang dilarang, namun jika dirasa tidak perlu maka tidak perlu, karena hal ini dilakukan sebatas kebutuhan, bukan termasuk kekhususan ihram, ia dianjurkan menurut kebutuhan.

Ketiga, dianjurkan untuk memakai minyak wangi di tubuh, berdasarkan ucapan Aisyah, “Aku memberi Rasulullah saw minyak wangi sebelum beliau berihram dan setelah beliau tahallul sebelum thawaf di Ka’bah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 2818.

Keempat, laki-laki dianjurkan sebelum berihram untuk melepas pakaian berjahit, yaitu semua kain yang dijahit selebar tubuh manusia atau sebagian tubuhnya, karena Nabi saw melakukan hal ini saat berihram, baju-baju berjahit ini diganti dengan dua helai kain putih yang bersih, boleh dengan selain putih kalau memang kaum laki-laki biasa memakainya.

Melepaskan baju berjahit sebelum berniat ihram adalah sunnah, adapun setelah niat ihram maka ia wajib. Seandainya dia berniat ihram dengan pakaian berjahit maka ihramnya tetap sah dan dia harus melepaskan baju berjahitnya tersebut.

Untuk wanita, tidak ada pakaian khusus ihram, sebaliknya pakaiannya adalah pakaian kesehariannya. Bila saat tiba di miqat, seorang wanita dalam keadaan haid, maka dia tetap berihram sama dengan lainnya, karena haid tidak menghalangi ihram, hanya saja dia menahan diri untuk tidak thawaf sampai suci, bila sudah suci maka dia mulai manasiknya tanpa perlu mengulang ihramnya.

Jika orang yang hendak haji atau umrah telah melakukan apa yang disebutkan di atas, maka dia dalam kondisi siap ihram, melakukan hal-hal di atas bukan merupakan ihram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam, karena ihram sendiri adalah niat untuk masuk dan memulai manasik.

Adapun shalat sebelum ihram, maka ihram tidak mempunyai shalat yang khusus dengannya, akan tetapi jika bertepatan dengan shalat fardhu maka ihram dilakukan setelahnya, karena Nabi saw berihram setelah shalat dan dari Anas bahwa beliau shalat Zhuhur kemudian naik ke kendaraannya, lalu berihram di atasnya. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak dinukil dari Nabi saw bahwa beliau shalat dua rakaat untuk ihram selain Zhuhur.”

Ada satu hal yang patut diperhatikan, tidak sedikit jamaah haji yang menyangka bahwa ihram harus dilakukan di masjid yang dibangun di miqat, mereka berebut masuk ke sana laki-laki dengan wanita berdesak-desakan, mereka melepaskan baju mereka di sana yang kadang-kadang tidak memperhatikan sekitarnya, lalu menggantinya dengan baju ihram, hal ini tidak berdasar.

Yang patut dilakukan seorang muslim adalah berihram di miqat, di bagian mana pun dari miqat, bukan di tempat tertentu darinya, cukup di tempat yang mudah baginya, yang lebih mudah baginya dan bagi orang-orang yang bersamanya, di tempat yang lebih tertutup dan tidak berdesak-desakan.

Masjid-masjid di miqat-miqat saat ini tidak ada di zaman Nabi saw, ia tidak dibangun untuk berihram darinya, akan tetapi untuk menegakkan shalat di sana untuk orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Selanjutnya adalah berniat melakukan manasik yang dimaksud, berdasarkan sabda Nabi,


إنَّماَ الأَعْمَالُ باِلنِّياَّتِ

“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat-niat.”

Disyariatkan mengucapkan niatnya dalam ihram, bila umrah maka dia mengucapkan, “Labbaika umrah.” Atau, “Allahumma labbaika umrah.” Bila haji maka, “Labbaika hajja.” Atau, “Allahumma labbaika hajja.” Bila keduanya, maka “Labbaika umrah wa hajja.” Wallahu a'lam.
sumber:alsofwah

Apa yang Dilakukan di Miqat?


Ihram adalah manasik haji pertama, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam manasik, dinamakan ihram karena dengan niat tersebut seorang muslim diharamkan apa yang sebelumnya mubah.

Sebelum ihram dianjurkan mempersiapkan diri dengan melakukan beberapa hal untuk menyambut ibadah besar tersebut, yaitu:
Pertama, mandi dengan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air, karena Nabi saw mandi saat hendak ihram. Mandi ini dianjurkan termasuk wanita haid dan nifas. Nabi saw memerintahkan Asma` binti Umais saat dia sedang nifas untuk mandi, diriwayatkan oleh Muslim 2900. Nabi saw memerintahkan Aisyah untuk mandi saat hendak ihram untuk haji padahal saat itu dia sedang haid. Diriwayatkan oleh Muslim 2929.

Kedua, dianjurkan untuk membersihkan diri dengan memotong rambut yang patut dipotong seperti kumis, bulu ketiak dan bulu kelamin yang memang harus dicukur, agar pada saat ihram dia tidak perlu memotongnya karena memang dilarang, namun jika dirasa tidak perlu maka tidak perlu, karena hal ini dilakukan sebatas kebutuhan, bukan termasuk kekhususan ihram, ia dianjurkan menurut kebutuhan.

Ketiga, dianjurkan untuk memakai minyak wangi di tubuh, berdasarkan ucapan Aisyah, “Aku memberi Rasulullah saw minyak wangi sebelum beliau berihram dan setelah beliau tahallul sebelum thawaf di Ka’bah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 2818.

Keempat, laki-laki dianjurkan sebelum berihram untuk melepas pakaian berjahit, yaitu semua kain yang dijahit selebar tubuh manusia atau sebagian tubuhnya, karena Nabi saw melakukan hal ini saat berihram, baju-baju berjahit ini diganti dengan dua helai kain putih yang bersih, boleh dengan selain putih kalau memang kaum laki-laki biasa memakainya.

Melepaskan baju berjahit sebelum berniat ihram adalah sunnah, adapun setelah niat ihram maka ia wajib. Seandainya dia berniat ihram dengan pakaian berjahit maka ihramnya tetap sah dan dia harus melepaskan baju berjahitnya tersebut.

Untuk wanita, tidak ada pakaian khusus ihram, sebaliknya pakaiannya adalah pakaian kesehariannya. Bila saat tiba di miqat, seorang wanita dalam keadaan haid, maka dia tetap berihram sama dengan lainnya, karena haid tidak menghalangi ihram, hanya saja dia menahan diri untuk tidak thawaf sampai suci, bila sudah suci maka dia mulai manasiknya tanpa perlu mengulang ihramnya.

Jika orang yang hendak haji atau umrah telah melakukan apa yang disebutkan di atas, maka dia dalam kondisi siap ihram, melakukan hal-hal di atas bukan merupakan ihram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam, karena ihram sendiri adalah niat untuk masuk dan memulai manasik.

Adapun shalat sebelum ihram, maka ihram tidak mempunyai shalat yang khusus dengannya, akan tetapi jika bertepatan dengan shalat fardhu maka ihram dilakukan setelahnya, karena Nabi saw berihram setelah shalat dan dari Anas bahwa beliau shalat Zhuhur kemudian naik ke kendaraannya, lalu berihram di atasnya. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak dinukil dari Nabi saw bahwa beliau shalat dua rakaat untuk ihram selain Zhuhur.”

Ada satu hal yang patut diperhatikan, tidak sedikit jamaah haji yang menyangka bahwa ihram harus dilakukan di masjid yang dibangun di miqat, mereka berebut masuk ke sana laki-laki dengan wanita berdesak-desakan, mereka melepaskan baju mereka di sana yang kadang-kadang tidak memperhatikan sekitarnya, lalu menggantinya dengan baju ihram, hal ini tidak berdasar.

Yang patut dilakukan seorang muslim adalah berihram di miqat, di bagian mana pun dari miqat, bukan di tempat tertentu darinya, cukup di tempat yang mudah baginya, yang lebih mudah baginya dan bagi orang-orang yang bersamanya, di tempat yang lebih tertutup dan tidak berdesak-desakan.

Masjid-masjid di miqat-miqat saat ini tidak ada di zaman Nabi saw, ia tidak dibangun untuk berihram darinya, akan tetapi untuk menegakkan shalat di sana untuk orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Selanjutnya adalah berniat melakukan manasik yang dimaksud, berdasarkan sabda Nabi,


إنَّماَ الأَعْمَالُ باِلنِّياَّتِ

“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat-niat.”

Disyariatkan mengucapkan niatnya dalam ihram, bila umrah maka dia mengucapkan, “Labbaika umrah.” Atau, “Allahumma labbaika umrah.” Bila haji maka, “Labbaika hajja.” Atau, “Allahumma labbaika hajja.” Bila keduanya, maka “Labbaika umrah wa hajja.” Wallahu a'lam.
sumber:alsofwah

Minggu, 16 Oktober 2011

BERDIALOG DENGAN TERORIS (BELAJAR DARI PENGALAMAN ARAB SAUDI DALAM MENUMPAS TERORISME)


Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA


PENGANTAR
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [1]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [2]

Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat dari seseorang.

Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.

Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran mereka [3]

Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhuma yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jâbir Radhiyallahu ‘anhuma, akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.

Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma.

Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi-pundi pahala mereka.

Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.

ARAB SAUDI DAN TERORISME
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.

Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.

Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi [4]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorismediimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.

Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.

Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.

Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite PenasEhat).

APA ITU LAJNAH AL-MUNASHAHAH?
Lajnah al-Munâshahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munâshahah memulai aktivitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi [5]

Lajnah al-Munâshahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.

2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.

3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .

4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [6]

TEKNIK DIALOG
Hampir tiap hari Lajnah al-Munâshahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.

Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, perjanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab [7]

Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu persatu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.

Pada awalnya, banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [8]

Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan senang hati mereguknya. [9]

Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munâshahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah [10]

Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.

Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama [11].

PROGRAM DAN SARANA PENUNJANG
Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.

Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung- jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktivitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munâshahah di penjara tidak pudar di rumah [12]

Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed bin NayifCenter for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan [13]

SANGAT BERHASIL, MESKIPUN KADANG GAGAL
Program munâshahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya, sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.

Seorang bernama Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munâshahah mengatakan, bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faidah yang besar. Tidak lupa, ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini [14]
Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allâh Azza wa Jalla tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya, bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah-daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munâshahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin [15]

Menurut ‘Abdul ‘Azîz al-Khalîfah, anggota Lajnah al-Munâshahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra [16]

Namun, kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran [17]. Dunia internasional pun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka [18]

PENUTUP : BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorisme. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktikkan di Arab Saudi Insyâ Allâh juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru! Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Bi Ayyi 'Aqlin wa Dîn Yakûnu at-Tafjîru Jihâdan?, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, hlm. 3, at-Tahdzîr min asy-Syahawât, ceramah Dr. Sulaimân ar-Ruhaili
[2]. Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim, 2/167
[3]. Sunan al-Baihaqi8/179
[4]. Harian ASHARQUL- AUSATH edisi 9297, 12 Mei 2004
[5]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[6]. Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su'ud ‘Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[7]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su'ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[8]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[9]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[10]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[11]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Harian al-Riyâdh edisi 13.68.
[12]. Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su'ud Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[13]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com
[14]. Harian al-Riyâdh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com
[15]. Harian al-Riyâdh, edisi 14.848
[16]. Harian al-Riyâdh, edisi 14.848.
[17]. Markaz Muhammad bin Nayef lil Munâshahah, Su'ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Horan al-Wathan, edisi 3.257
[18]. Koran al-Riyadh edisi 15.042
sumber:alsmanhaj

Kamis, 13 Oktober 2011

jawaban atas tudingan Sofyan Khalid, dkk, bahwa kelompok selain mereka termasuk WI adalah Hizbiyah.


Segala puji bagi Allah Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas qudwah kita, Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para shahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Ikhwah fillah, Ini adalah Silsilah terakhir dari pembelaan kami terhadap para ulama dan du'at jilid I. InsyaAllah akan terbit Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at jilid II, untuk membantah "Jawaban Ilmiah" Sofyan Kholid, dkk. Dan edisi kali ini akan menampilkan kajian sekaligus jawaban atas tudingan Sofyan Khalid, dkk, bahwa kelompok selain mereka termasuk WI adalah Hizbiyah.
Ikhwah fillah, ada sebuah ungkapan masyhur yang menyatakan, bahwa "pertahanan terbaik adalah menyerang". Artinya, sebelum seseorang itu disasarkan bidikan, maka yang dilakukan adalah duluan membidik. Demikian kira-kira ilustrasi bagi al-akh Sofyan dan kelompok "salafy", yang begitu gencar mengumbar serangan tahdzir ke hampir seluruh kelompok dan jama'ah Islam selain kelompok mereka, untuk menutupi aroma hizbiyah yang begitu nampak pada diri kelompoknya. InsyaAllah setelah menelaah paparan silsilah ini, pembaca budiman boleh menilai, siapa sang pengusung hizbiyah dan siapa yang tertuduh.

Namun sebelumnya, kami memandang perlu mengetengahkan secara ringkas hal-hal yang berkaitan dengan hizbiyyah agar pembaca mendapat kejelasan dalam memberi penilaian secara obyektif.

Kalimat hizbiyah berasal dari kata al-hizb yang berarti jama'atun naas [kumpulan manusia], yang bentuk jamaknya adalah al-ahzaab, yakni setiap kaum yang menyatu hati dan pekerjaan mereka maka disebut ahzaab kendati sebagian mereka tidak bertemu dengan sebagian lainnya.[1] Dan perkara hizbiyyah ini terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Hizbiyah yang berada di atas apa yang diperintahkan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, maka ia tergolong hizbiyyah terpuji. Allah Ta'ala menegaskan akan hal ini dalam firman-Nya: "Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya hizb (pengikut agama) Allah itulah yang pasti menang". (Qs: al-Maidah : 65).

Kedua: Hizbiyyah yang berada di atas penyelisihan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka ini tergolong hizbiyyah tercela. Seperti firman Allah Ta'ala: "Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan (hizb) setan. Katahuilah bahwa golongan setan itu-lah golongan yang merugi". (Qs: al-Mujaadilah : 19).

Dalam hal ini, yakni kedua macam hizbiyyah di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Adapun "pemimpin hizb", maka sesungguhnya ia adalah pemimpin thaifah (kelompok kecil) yang kemudian menjadi sebuah hizb (kelompok besar). Jika mereka berkumpul di atas apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya tanpa menambah dan mengurangi, maka mereka adalah orang-orang beriman, bagi mereka apa yang ada pada kaum mukminin dan atas mereka (masalah mereka) juga atas (masalah) kaum mukminin. Adapun jika mereka telah menambahkan sesuatu padanya dan menguranginya, seperti sikap ta'asshub kepada orang yang masuk ke dalam kelompok mereka dengan kebenaran dan kebatilan serta berpaling dari orang-orang yang tidak termasuk golongan mereka kendati ia berada di atas kebenaran atau kebatilan, maka ini termasuk perpecahan yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk berjama'ah dan bersatu serta mencegah berpecah belah dan berselisih serta memerintahkan pula membangun ta'awun di atas kebaikan dan ketakwaan disamping melarang saling berta'awun di atas dosa dan permusuhan".[2]

Adapun maksud hizbiyah dalam artikel ini, adalah hizbiyyah jenis kedua yang tercela. Sebab demikian-lah adanya, jika ia dimutlak-kan maka makna yang langsung terbetik dalam diri adalah ta'asshub dan fanatik golongan, kelompok atau jama'ah yang menaunginya. Dan ia merupakan penyakit sangat berbahaya dalam gerakan dakwah Islam, khususnya dakwah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sebab, sikap hizbiyyah dapat dipastikan akan menyebabkan perpecahan dan pertikaian dalam tubuh umat Islam, memutuskan buhul-buhul ukhuwah yang susah payah dibangun atas pondasi tauhid. Hingga sampai pada taraf menghalalkan harga diri, kehormatan dan darah kaum muslimin, wal'iyadzubillah.

Perlu diketahui pula, sejak mula semburat cahaya hidayah, perkara hizbiyyah telah mendapat perhatian serius dalam dakwah Islam. Dimana sebelum datangnya Islam hizbiyyah di bangun atas undang-undang dan ashabiyyah (fanatisme) kabilah serta hubungan darah. Pada masa itu, setiap kabilah merupakan representasi dari hizb (kelompok) tertentu, sedangkan induk daripada hizb tersebut adalah bangsa Qurays. Kemudian Islam datang dan menggalang persatuan serta persaudaraan diatas landasan imam. Disamping menegakkan Daulah Islamiyah di bawah naungan panji Islam, yang atasnya diterapkan al-wala wa al-bara' berdasar kekuasaan syar'iyyah yang satu. Setiap kali nampak fenomena ta'asshub kabilah, suku dan lain sebagainya, segera ditumpas oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga beliau meninggalkan dunia fana ini. Karenanya, tidak ada (baca: tidak halal) hizbiyyah -dalam arti tercela-, ta'asshub, fanatisme golongan dan selainnya dalam Islam.

Imam Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahullah berkata: "Adalah kaum muslimin tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat berada di atas satu manhaj dalam ushul dan cabang agama, terkecuali mereka yang menampakkan persetujuan namun menyembunyikan kemunafikan".[3]

Imam asy-Syathiby rahimahullah berkata: "Islam senantiasa berkembang dan tegak jalannya selama hayat Nabi shallallahu alaihi wasallam, juga setelah beliau wafat serta kebanyakan dari zaman sahabat, hingga lahir di tengah-tengah mereka bibit penolakan (khuruj) terhadap as-sunnah, serta tenggelam dalam perbuatan bid'ah menyesatkan, seperti bid'ah Qadariyah dan Khawarij".[4]

Setelah itu, bersamaan dengan perguliran zaman lahir pula firqah-firqah dalam tubuh umat yang menyimpang dari jalan as-sunnah. Menyeru pada kebatilah berupa sikap fanatik (ta'asshub) terhadap kelompok serta perlakuan buruk lainnya yang disasarkan pada kaum muslimin yang tidak sejalan dengan fikrah mereka. Dan induk dari kelompok-kelompok tersebut yang berandil besar memecah belah barisan kaum muslimin adalah Qadariyah, Syi'ah, dan Khawarij. Kemudian disusul oleh Mu'tazilah, Asya'irah, Maturidiyah, Shufiyyah dan selainnya. Demikian pula nampak dalam tubuh umat ini ta'asshub mazhabiyyah, dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah, termasuk diantaranya jama'ah-jama'ah al-mu'ashirah (zaman sekarang) yang membangun manhaj mereka di atas sikap ta'asshub hizbiyyah serta fanatik terhadap kelompok dan masyaikh (guru-guru)-nya. Setiap dari mereka meng-klaim, bahwa kebenaran berada dalam selendangnya. Dan seterusnya, hingga sampai pada fitnah sikap saling mengkafirkan satu sama lainnya, memutuskan jalinan silaturahim, mengharamkan pernikahan terhadap mereka yang lain mazhab atau golongan, bahkan sampai menyulut api peperangan seperti yang terjadi di Ashbahan dan selainnya. Dan para ulama Ahlu Sunnah walillahilhamdu, berlepas diri dari sikap fanatisme mazhab semisal ini.

Iman Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: "Sepeninggal generasi-generasi terbaik umat ini, (disusul wafatnya para Imam abad ke IV H, dan perginya para pengikut angkatan pertama mereka) datanglah generasi yang memecah belah agamanya. Hidup bergolong-golongan dan masing-masing bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Mereka memotong-motong perkara agamanya menjadi berkeping-keping. Segolongan orang menjadikan ta'ashub madzhabi (fanatisme madzhab) sebagai agama yang digenggam erat dan sebagai modal keyakinan yang digembor-gemborkan. Sementara segolongan lain merasa puas dengan sikap taklid buta. Mereka berpegang pada prinsip: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Qs: Az-Zukhruf: 23). Dua golongan manusia: muta'ashib (fanatik golongan) dan muqallid (orang yang taklid) di atas, sama-sama berada pada keadaan yang teramat jauh dari kebenaran yang semestinya diikuti. Rasanya tepat sekali jika ungkapan (ayat al-Qur'an al-Karim) berikut diarahkan pada mereka: "(Apa yang dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan bukan (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab" (Qs: an-Nisa': 123).[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Demikian pula memecah belah umat dan menguji mereka (imtihanun naas) pada apa yang tidak diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, seperti jika dikatakan pada seseorang: Engkau Syakiliy atau Qarfandiy; sungguh semua ini adalah nama-nama batil yang tidak pernah Allah Ta'ala turunkan. Tidak ada dalam kitab Allah, tidak pula pada sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan juga tidak pada atsar yang ma'ruf dari Salaful Ummah, yakni Syakiliy dan tidak pula Qarfandiy. Dan wajib atas setiap muslim, jika ditanya tentang demikian untuk menjawab: Aku bukan Syakily dan bukan pula Qarfandiy, namun aku adalah seorang muslim yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Telah kami riwayatkan dari Mu'awiyah bin Abi Sofyan –radhiallahu anhu-, bahwa ia pernah bertanya pada Abdullah bin Abbas –radhiallahu anhuma-: "Engkau berada di atas millah (kelompok) Ali atau millah Utsman? Maka Ibnu Abbas menjawab: "Aku bukan berada pada millah Ali dan bukan pula millah Utsman, namun aku berada di atas millah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam".[6]

Adapun ciri dominan dari sikap hizbiyyah, sebagaimana disinggung para ulama adalah sebagai berikut:

1. Mencegat pengikutnya duduk dan bergaul dengan orang lain yang bukan kelompok mereka atau bukan pemberi bantuan kepada mereka. Maksud dan tujuan dari hal ini adalah untuk alasan protek kader dan anggotanya dari mendengarkan hal-hal yang menyelisihi manhaj (thariqah), atau yang akan membantah bid'ah mereka. Dan ini termasuk ciri yang paling berbahaya dari sikap hizbiyyah.[7]

2. Memandang rendah urgensi menuntut ilmu syar'i, dan tenggelam dalam hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. Dan hal ini kebanyakan menyeret para pengusung hizbiyyah ke dalam perbuatan bid'ah tercela. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah meriwayatkan dari Abu Abdillah bin Khafif, ia berkata: "Sibukkanlah diri kalian dengan mengkaji ilmu, dan jangan terpedaya pada ucapan-ucapan kaum sufi… Sungguh aku berangkat secara sembunyi-sembunyi menuju majelis ahli ilmu, dan tatkala mereka (para sufi) mengetahui hal tersebut mereka pun mendebat-ku dengan berkata: "(dengan ilmu itu) engkau tidak akan selamat".[8]

3. Bersikap ekslusif, tertutup dan susah bergaul dengan kaum muslimin secara umum, dan hanya bergaul dengan orang-orang yang bersama mereka dalam satu kelompok, jama'ah, majelis dan sebagainya. Padahal Islam sebagai rahmat bagi segenap umat manusia. Adapun sikap ekslusif akan mencegah pelakunya dari menyampaikan kebenaran kepada kaum muslimin. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: "Jika engkau menyaksikan suatu kaum menyembunyikan sesuatu dari agamanya, dan tidak untuk umum maka ketahuilah, mereka berada di atas pondasi kesesatan".[9]

4. Mengarahkan al-wala' dan al-bara' hanya kepada kelompok, jama'ah, syaikh, madzhab dan selainnya, dan bukan kepada Islam. Dalam Shahih Bukhari, sebagaimana telah kami singgung dalam artikel-artikel sebelumnya, tentang kisah seorang Muhajirin dan seorang dari kalangan Anshar bertikai, lalu pemuda Muhajirin menyeru: "Wahai kaum Muhajirin", sedangkan pemuda Anshar memanggil: "Wahai kaum Anshar", lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam datang seraya berkata: "Ada apa dengan seruan-seruan Jahiliyah ini, tinggalkanlah sungguh ia tercela".[10] Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata berkenaan dengan makna panggilan Jahiliyyah ini: "Bahwasanya ia semisal panggilan (seruan) kepada kabilah, fanatik terhadap seseorang, dan termasuk diantaranya taasshub kepada mazhab, kelompok, masyaikh dan mengutamakan sebagian di atas sebagian lainnya berdasarkan hawa nafsu dan taasshub, berintisab kepadanya dan menyeru orang kepadanya, memberi wala' padanya serta mengarahkan bara' (permusuhan) atasnya pula, serta menimbang (menakar) manusia dengannya (apa yang ada pada dirinya). Maka semua ini termasuk dalam kategori seruan jahiliyyah".[11]

5. Merasa diri paling suci, bersih, dan paling benar. Hingga tidak segan-segan mencerca dan merendahkan orang lain, bahkan menimbang kebenaran seseorang atau kelompok lain dengan diri mereka. Jika sesuai maka ia berada di atas kebenaran dan jika tidak dapat dipastikan ia adalah ahli bid'ah yang sesat, dan pantas diaplikasikan atasnya muamalah terhadap ahli bid'ah. Karenanya, kelompok yang memiliki ciri semacam ini begitu mudah bertikai dan berpecah, hanya lantaran masalah sepele yang tidak ada kaitannya dengan manhaj, bukan hanya terhadap mereka yang berada di luar kelompoknya, bahkan yang paling ramai adalah perpecahan yang terjadi antara mereka sendiri. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: "Tidak boleh seorang pun menguji manusia dengannya (mazhab, kelompok, dan selainnya. pent),[12] dan tidak boleh pula memberi wala lantaran nama-nama ini, serta menanamkan permusuhan karenanya. Sebab makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka, dari golongan mana pun ia berasal".[13]

Dari paparan muqaddimah ini, maka dapat kami simpulkan bahwa hizbiyyah dalam arti ta'asshub dan fanatisme golongan merupakan perkara terlarang (baca: haram) dalam agama, disamping sebagai sebab utama memecahbelah umat Islam dan melemahkan perjuangan umat Islam dalam menghadapi makar musuh-musuh yang setiap saat mengintai kelemahan umat ini.

Masih dalam tudingannya terhadap lembaga dakwah Wahdah Islamiyah, al-akh Sofyan Klahlid berkata:

* Keempat : al-Hizbiyyah

Jawaban:

Masalah hizbiyyah, termasuk ciri dominan padanya telah kami singgung secara singkat di atas. Namun yang menjadi catatan, bahwa Sofyan Khalid dan kelompok "salafy" memahami perkara hizbiyyah secara amat sederhana. Syawahid yang dikemukakan Sofyan Khalid menjadi bukti hal ini. Bahkan salah seorang dari kelompok "salafy" berkata: "Karena salafy bukanlah suatu kelompok, organisasi, tandzim atau jama'ah sebagaimana PKS, yang memiliki AD-ART dan manhaj tersendiri, yang berbeda dengan partai atau kelompok lainnya…".[14] Jadi ukuran hizbiyyah di sini adalah wujud lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, cabang-cabang dan sebagainya, dan bukan lagi sesuai atau tidak dengan al-Kitab wa as-Sunnah. Kendati oleh Sofyan Khalid tidak spesifik mengarahkan tuduhan hizbiyyah hanya karena wujud organisasi atau lembaga, sebab mereka pun telah membentuk yayasan-yasasan Islam yang memiliki aturan-aturan dan tandzim tertentu.[15]

Celakanya, pemahaman sempit terhadap hizbiyyah ini, kemudian dijadikan Sofyan Khalid dan kelompok "salafy" untuk mengeluarkan kelompok-kelompok lain selain mereka dari barisan Ahli Sunnah, tak terkecuali WI, dengan alasan yang sangat tendensius dan dipaksakan. Tidak ada yang selamat –kecuali kelompok mereka dan orang-orang tertentu- dari sematan gelar hizbiyyah ala fahmi "salafy". Seakan dirinya dan kelompok "salafy" yang paling suci dan bersih dari noda-noda penyimpangan ini (hizbiyyah). Padahal, dzahirah hizbiyyah pada mereka begitu amat nampak seterang matahari. Namun lantaran ghurur terhadap nisbah terhadap manhaj salaf, lalu diembel-embelkan pada nama sebagai as-Salafiy atau al-Atsariy, membuat mereka merasa diri aman dari terjatuh dalam kubangan hizbiyah tercela. Sepengetahuan kami –wallahu a'lam-, tidak ada kelompok atau jama'ah yang paling ghurur akan diri mereka melebihi kelompok "salafy". Merasa paling selamat, paling baik, paling ahli sunnah dan paling bersih dari segala kekeliruan termasuk sifat hizbiyyah. Hingga pada taraf memastikan secara umum, bahwa mereka semua yang ada dalam kelompoknya telah mengamalkan semua sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.[16] Pokoknya jika anda telah bergabung bersama mereka, mendapat tazkiyah para ustadz-ustadznya, maka anda mendapat jaminan selamat dari hizbiyyah serta jaminan pembelaan jika ada yang mencoba mengusik diri anda.[17] Makanya tidak aneh bila seorang ulama, du'at atau jama'ah tertentu terjatuh dalam kekeliruan sekali saja, yang oleh kelompok "salafy" dianggap sebagai sebuah penyimpangan kendati mereka yang tergelincir salah itu memiliki kebaikan amat banyak, otomatis langsung dicerca, dituding bahkan dieliminasi dari barisan Ahli Sunnah. Sementara kita saksikan, generasi terbaik dalam umat ini, yakni sebagian sahabat-pun sempat terjatuh ke dalam perbuatan hizbiyyah, seperti telah kami singgung di atas tentang kisah dua orang sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar kala bertikai. Beruntung di sisi mereka masih hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, hingga fitnah semacam ini segera diredam dan tidak sampai meluas menjadi pertumpahan darah. Saat itu beliau bersabda: "Ada apa ini, (ini adalah) seruan ahli Jahiliyah!!, tinggalkanlah, sebab ia tercela".

Padahal jika hanya sekedar nama, intishab, atau duduk dalam satu majelis tertentu, belumlah merupakan jaminan seorang itu selamat dari belitan hizbiyyah. Bahkan boleh jadi sebaliknya, lantaran nama dan intishab itu seorang justru rentan ternodai kotoran hizbiyyah. Coba renungi sejenak atsar di atas. Jelas sekali mengisahkan, bahwa para sahabat mulia, yang hidup bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sempat tergelincir dalam ranah hizbiyyah. Padahal, yang mereka teriakkan adalah tasmiyah syar'iyah (nama-nama syar'i) yang diabadikan al-Qur'an, yaitu Muhajirin dan Anshar. Akan Tetapi, tokh nisbah mereka terhadap tasmiyah itu tidak menjamin mereka selamat dari jeratan tahazzub, kendati tanpa disengaja. Atsar ini pula-lah yang semestinya mengajarkan kita, bahwa nisbah kepada tasmiyah syar'iyah saja tidak menjamin seseorang terjerumus ke dalam lingkaran tahazzub, apalagi tasmiyah (baru) yang datang kemudian dan tidak dikenal pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini agar kita tidak merasa aman lantaran nisbah tersebut. Bahkan seakan kita berteriak bangga sambil menepuk dada, bahwa apapun yang dilakukan (selama masih memakai nisbat tersebut) tidak akan menjerumuskannya ke dalam lingkaran hizbiyah.

Olehnya, al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah kala menyaksikan fenomena mengerikan dari sebagian orang yang menisbatkan diri dengan manhaj salaf, sampai menyebut bahwa "salafiyah" mereka itu sebagai kelompok (yang dalam bahasa arabnya disebut al-hizb. pent), seperti beliau isyaratkan dalam Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah: "Apabila di tubuh umat ini banyak muncul apa yang disebut hizb, maka kamu jangan bergabung dengan kelompok tersebut. Pada zaman dahulu beberapa kelompok tersebut telah muncul, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Rafidhah. Kemudian pada periode akhir-akhir ini muncul kelompok yang disebut Ikhwaniyyun, Salafiyyun,[18] Tablighiyyun, dan beberapa kelompok yang serupa. Tanggalkanlah semua kelompok ini di sisi kirimu dan ikutilah imam, yaitu apa-apa yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits: "Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk".

Tidak diragukan lagi bahwa tugas wajib seluruh kaum muslimin adalah menganut madzhab generasi salaf, bukan bergabung kepada hizb tertentu yang disebut salafiyyun. Umat Islam menganut madzhab Salafus Shalih, bukan menganut kelompok yang disebut Salafiyyun. Kenapa? Karena disana ada jalan salaf, dan disana ada hizb yang disebut As-Salafiyyun, yang harus dianut adalah mengikuti jalan generasi salaf".[19]

Tentunya pandangan al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah tidak berangkat dari butanya beliau akan salafiyah itu sendiri. Bahkan ia dibangun atas asas ilmu dan bashirah bahwa salafiyah adalah nisbah kepada manhaj Rasulullah shallallahu alaiahi wasallam dan para sahabatnya, serta pemahaman para ulama salaf. Akan tetapi, kala beliau mencium gelagat (pada akhir-akhir ini) bahwa salafiyah telah berganti menjadi sebuah kelompok atau hizb, dan bukan lagi sekedar manhaj dan pemahaman, maka tanpa ragu beliau menyatakan untuk menjauhi semua itu. Wallahul musta'an.

Simak pula perkataan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam karya monumenal-nya Tashnifun Nas Baina ad-Dzonniy wa al-Yaqien:[20]

و في عصرنا الحاضر يأخذ الدور في هذه الفتنة دورته في مسلاخ من المنتسبين إلى السنة متلفّعين بمرط ينسبنه إلى السلفية – ظلما لها – فنصبوا أنفسهم لرمي الدعاة بالتهم الفاجرة, المبنية على الحجج الواهية, و اشتغلوا بضلالة التصنيف.

"Di zaman sekarang, yang mengambil peran besar dalam penyebaran fitnah ini (fitnatut tashnif) adalah sebagian orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan nenutupi dirinya dengan jubah salafiyah –sebagai bentuk kedhaliman terhadap manhaj tersebut– lalu mereka mencela para du'at dengan tuduhan-tuduhan keji, berdasarkan hujjah yang lemah, dan menyibukkan diri dengan kesesatan tashnif (menggolong-golongkan manusia).[21]

Inilah firasat dua ulama besar Ahlus Sunah wal Jama'ah abad ini, yang menyatakan bahwa salafiyah telah bermetamorfosis dari sebuah manhaj dan pemahaman menjadi sebuah kelompok atau hizb, yang tentunya rentan terjerembab dalam kubangan ta'ashub dan tahazzub. Bahkan hal ini lebih ditegaskan oleh realita yang nampak. Yakni mudahnya kelompok "salafi" berpecah belah dan saling memakan antara satu dengan yang lain sebagaimana telah kami singgung dalam artikel kami "Fenomena "salafi" dan Manhaj Mengkritik Terhadap Orang Lain". Bahkan prilaku hizbiyyah yang amat mengerikan begitu nampak pada diri kelompok ini, dimana mereka melazimkan (baca: mewajibkan) bantahan terhadap kelompok-kelompok yang dituding menyimpang, namun pada saat yang sama kala datang kritikan-kritikan kepada mereka, kendati dari para ulama kibar Ahlu Sunnah abad ini semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahumullah, maka ustadz-ustadz "salafy" mencegat murid-muridnya mendengar apalagi mendekati sumber-sumber kritikan tersebut, dengan dalih memproteksi diri dari syubhat. Subhanallah, nasehat kebenaran yang bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan perkataan para ulama salaf dikategorikan sebagai syubhat. Apalagi jika nasehat dan kritik itu bersumber dari mereka yang memang dituding sebagai Ahli Bid'ah oleh kelompok "salafy", maka dapat dipastikan akan menuai gelombang bantahan dan cercaan. Wallahul Musta'an.

Sofyan Kholid berkata:

Syawahid-nya (buktinya) banyak sekali, diantaranya ungkapan sebagian orang WI, bahwa organisasi mereka adalah organisasi yang paling terbaik di dunia.

Tanggapan :

1. Bukti (syahid) ini tergolong baru. Bahkan mungkin belum pernah disinggung oleh personal kelompok "salafi" sebelumnya. Sementara tudingan hizbi (kepada WI) telah lama sekali, yakni sejak wujud WI masih berupa sebuah Yayasan. Barangkali ini merupakan hasil perenungan mendalam serta kajian yang menguras energi Sofyan Khalid dalam mengais-ngais kesalahan orang lain. Kalau dulu yang diserang adalah zat Yayasan-nya, karena yayasan menurut kelompok "salafy" (dahulu) merupakan bid'ah tercela yang mengarah pada sikap tahazzub. Namun lantaran mereka sendiri yang kemudian hari ramai-ramai membentuk Yayasan, maka tudingan dipalingkan sedikit, bahwa WI menyatakan organisasi-nya yang paling terbaik di dunia?! Dari sini nampak cerminan kondisi manhaj yang mereka berpijak di atasnya. Tidak ada kepastian dan dapat bergonta-ganti menurut kebijakan ulama dan ustadz panutan kelompoknya. Dan masih banyak lagi, termasuk istilah-istilah yang (dahulu) menjadikan mereka alergi, lantaran menurut asumsi mereka merupakan ciri khas kelompok IM hizbi yang harus dijauhi, namun kemudian diterima, sebab para Masyaikh dan ustadz-ustadz-nya pun menggunakannya.

2. Kami dan siapa-pun pasti merasa sangat lucu jika benar ada ungkapan "batil" semacam ini. Kalimat hiperbola, "paling terbaik di dunia", mungkin hanya diucapkan oleh anak kecil yang bangga atas mainan buatannya. Artinya, kalau tokh benar apa yang dikatakan oleh Sofyan Khalid, maka kami berlepas diri dari klaim "terbaik di dunia" ini. Akan tetapi, apakah penyataan "lucu" yang berasal oknum majhul yang dinisbatkan pada WI, lalu dikatakan sebagai sikap resmi WI, yang kemudian menjadi alasan pembenaran nisbat hizbiyyah padanya dan berhak diusir dari barisan Ahlu Sunnah?! Pembaca budiman, ini jelas menunjukkan rusaknya manhaj (metode) mereka dalam menentukan satu hukum bagi seseorang atau jama'ah lain. Hanya karena pernyataan seseorang yang majhul, kemudian digeneralisir kepada seluruh personal yang jumlahnya puluhan ribu, ini merupakan satu metode dzalim yang menyimpang. Banyak sekali bukti yang menunjukkan rusaknya manhaj mereka ini. Makanya, dalam satu muhadharah, dengan entengnya seorang ustadz "salafy" mengeliminasi sekaligus mentahdzir al-Ustad Yazid bin Abdul Qadir Jawwas –hafidzahullah- hanya lantaran namanya tercantum bersama nama Dr. Hidayat Nur Wahid, MA sebagai pentashih (pengoreksi) terjemahan al-Qur'an. Artinya, siapapun anda, jika kepergok oleh kelompok "salafy" berhubungan dengan kelompok yang mereka tuding sebagai ahli bid'ah, kendati hanya nama, maka anda-pun akan kena getahnya. Padahal, kalau mau, sekali lagi kalau mau, kami pun bisa menggunakan metode "rusak" mereka ini dalam menjatuhkan vonis hukum terhadap kelompok "salafy", bahwa kelompok ini adalah menifestasi dari fikrah Khawarij hizbiyyah masa kini, lantaran perbuatan beberapa oknum murid kajian kelompok "salafy", diantaranya yang jelas menyatakan di hadapan salah seorang ikhwah di Raha, sebagai jawaban terhadap salam yang diarahkan padanya: "Laa, kita berbeda akidah, ana ahlul jannah wa anta ahlun naar !?", namun alhamdulillah kami tidak sepicik itu. Dan kami tidak ingin mengotori manhaj penilaian kami terhadap orang lain yang di bangun di atas kaidah ilmiyah, dengan manhaj rusak seperti ini.

3. Sekali lagi, jika apa yang dikatakan oleh Sofyan Khalid benar, maka kami tegaskan telah berlepas diri darinya. Dan bahwasanya, penyataan satu oknum tidak bisa digeneralisir kepada keseluruhan personal jama'ah. Disamping ia sebagai nasehat bagi kita semua, utamanya personal WI agar sedapat mungkin menjauhi dan meninggalkan seluruh hal-hal yang mengarah pada sikap ta'asshub hizbiyyah, dan perasaan bangga serta merasa paling baik lantaran berafiliasi dengan sebuah jama'ah dakwah tertentu. Jadikan-lah manhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagai satu-satunya manhaj dalam dakwah dan tarbiyah. Sebab jalan selain metode Ahli Sunnah adalah jurang kebinasaan. Diamana-pun anda berada, selama kelompok itu tegak di atas manhaj yang haq, maka ia lebih berhak untuk mendapatkan wala'. Dan Alhamdulillah, kami tidak seperti sikap para asatidzah "salafy" yang secara sharahah mentazkiyah seluruh salafiyyun telah mengamalkan seluruh sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.[22] Dalam artian, kesalahan dan kekeliruan amat jauh dari mereka, hingga nasehat dan peringatan tidak perlu di arahkan pada mereka, dan hanya kepada orang-orang yang berada di luar lingkup kelompoknya.

Sofyan Kholid mengatakan :

Mereka juga senantiasa memunculkan nama WI hampir dalam setiap kegiatan mereka, seakan-akan hanya berdakwah menuju organisasi, dan bagaimana cara membesarkannya. Hal ini dengan mudah didapati dalam situs-situs resmi maupun blog-blog pribadi mereka. Dalam salah satu tingkatan dauroh mereka terdapat jadwal materi khusus membahas tentang perjalanan dakwah WI.

Tanggapan :

1. Ungkapan ini tergolong aneh, sebab lahir dari jiwa yang disesaki sifat benci dan apriori. seakan mengisyaratkan bahwa Sofyan Kholid hidup ber-'uzlah jauh dari keramaian. Sebab fenomena yang ia singgung di atas merupakan kenyataan yang telah memenuhi dunia Islam, dimana tidak satu kegiatan-pun baik sosial maupun dakwah kecuali disertakan sponsornya. Bahkan kerajaan Saudi Arabia lebih dahulu mempopulerkan hal ini, dan tidak ada seorang ulamapun -sepanjang pengetahuan kami- yang mengingkari fenomena ini, hingga seolah telah menjadi ijma' sukuti di antara mereka. Sebagai contoh, Rabithotul 'Alam al-Islami. Hampir semua kegiatan organisasi dakwah ini selalu disertakan namanya, Tadribud Du'at Rabithoh, Dauroh Rabithoh, masjid yang di bangun Rabithoh, bahkan ada da'i Rabithoh dan selainnya. Dan sekali lagi, sepanjang pengetahuan kami tidak ada seorang ulamapun yang mengatakan Rabithoh adalah organisasi hizbiyah lantaran selalu memunculkan nama dan lambang organisasinya dalam setiap kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Lucunya, dalam Daurah kelompok "salafy" yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Masjid Raya Makassar jelas-jelas terpampang sponsor kegiatan tersebut yakni KSP (Koperasi Simpan Pinjam) NV. Hadji Kalla, yang kemungkinan besar melakukan muamalah dan transaksi perkoperasian dengan sistem ribawi. Dan kami kira pembaca pun sudah maklum "kaidah masyhur" kelompok "salafy", yakni "boleh bagi kami dan haram bagi kalian!?".

2. Kalau belum jelas juga bagi Sofyan dan kelompok "salafy", maka kami tegaskan hujjah lain, bahwa sumber dana bagi organisasi Rabithah 'Alam al-Islamy, Ihya at-Turats, Wahdah Islamiyah dan selainnya adalah dana dari umat, yang dititipkan dan dipercayakan untuk kegiatan dakwah dan perjuangan kaum muslimin. Olehnya, seluruh "embel-embel" nama dan kegiatan-kegiatan tersebut yang diapload dalam situs resmi WI adalah dalam rangka dokumentasi dan pertanggungjawaban di hadapan umat akan penggunaan dana tersebut. Agar jelas dan gambalng, bahwa dana yang mereka titipkan telah digunakan untuk Dakwah dan perjuangan kaum muslimin. Bukan tahazzub sebagaimana "sangka baik" Sofyan, yang hanya melihat dari satu sisi yang sempit lalu menarik kesimpulan, kendati tidak di atas ilmu dan bashirah, namun atas kebencian dan sikap apriori hizbiyah.

Sofyan Kholid mengatakan :

Demikian pula mereka sangat bangga dengan pujian-pujian tokoh maupun masyarakat kepada WI, diantaranya pujian-pujian beberapa tokoh kepada WI dan buku Sejarah WI terus menerus diiklankan dalam website resmi WI. Pujian-pujian ini membuat mereka lalai dari segala penyimpangan. Mereka telah tertipu dengan pujian-pujian semu yang membuat mereka bangga dengan apa yang mereka miliki.

Selain itu, hampir seluruh aktivitas dakwah kader-kader WI, dimana pun mereka berada, senantiasa menonjolkan label WI, sehingga orang-orang awam di kalangan mereka bisa langsung memiliki persepsi memang beda antara WI dan Salafy. WI mengajak kepada organisasi, sedang Salafy mengajak untuk berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah ala pemahaman sahabat.

Tanggapan :

1. Sungguh mengherankan sikap Sofyan Khalid tersebut. Permasalahan tazkiyah pun dikait-kaitkan dengan masalah hizbiyyah. Padahal tidak ada satu ulama yang mengingkari masalah permohonan dan pemberian tazkiyah pada seseorang atau jama'ah tertentu. Bahkan ia merupakan kebiasaan para ulama salaf sejak dahulu hingga hari ini.

2. Ketergesaan Sofyan Khalid masuk dalam wilayah niat dan maksud seseorang. Dan ini pula yang menjadi kebiasaan asatidzah "salafy", sebagaimana telah kami singgung dalam artikel sebelumnya. Siapa yang membisikkan anda wahai Sofyan, bahwa WI "sangat bangga" dengan pujian-pujian tersebut? Apakah lantaran tazkiyyah dipaparkan dan dimuat (maaf: bukan di"iklankan", sebagaimana penghinaan Sofyan Khalid)[23] merupakan qarinah hingga kemudian Sofyan mengambil kesimpulan bahwa WI sangat berbangga dengan-nya?! Kalla wahai Sofyan, tazkiyah yang dimuat dalam website WI adalah merupakan bukti keterbukaan dan pengakuan akan keberadaan dakwah WI sebagai gerakan Ahlu Sunnah wal Jama'ah di tanah air ini. Demikian pula, tazkiyah akan lebih menanamkan rasa tsiqoh umat terhadap misi dakwah yang diusung oleh WI, yakni dakwah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Disamping sebagai penguat keyakinan umat akan penunaian amanah yang mereka titipkan pada dakwah WI demi perjuangan dakwah Islam yang berasas manhaj Ahlu Sunnah. Dan bukan untuk berbangga-bangga apalagi sampai melalaikan dari penyimpangan. Walhamdulillah.

3. Anehnya, justru yang terjebak dalam hal perlombaan mengumpulkan tazkiyah dan pujian adalah kelompok "salafy". Hingga tidak mengherankan jika dalam situs-situs mereka, kala membela Syaikh Rabi' al-Madkhali, banyak memaparkan pujian-pujian ulama terhadap-nya, bahwa Syaikh fulan mengatakan Syaikh Rabi' ulama jarh wa ta'dil zaman ini, Syaikh Rabi' sebagai pengusung Ahlu Sunnah dan sebagainya. Atau tazkiyah Ust. Khaidir yang disebarkan ke seantero kota Makassar, bahwa Ust. Zulkarnain-lah (saudara kandung Ust. Khaidir) yang paling berhak menyarah kitab Bulughul Maram di kota Makassar ini!?. Dan semua ini dimuat (bukan di"iklan"kan) dalam situs-situs kelompok "salafy". Sekali lagi sangat aneh. Seakan yang boleh memuat tazkiyah dan pujian hanya kelompoknya saja dan tidak bagi selain mereka. Jika ternyata ada yang melakukannya, lantas dituduh berbangga dengannya dan merupakan ciri hizbiyyah. Demikian-lah kondisinya jika sikap inshof itu telah diangkat dari dada seseorang. Dan inilah yang banyak disedihkan oleh para ulama, termasuk Imam Malik bin Anas rahimahullah, kala menyatakan: "Tidak ada yang paling sedikit di zaman kita ini melebihi sikap inshof".[24] Ini beliau ucapkan pada zamannya, maka bagaimana jika beliau menyaksikan sendiri kenyataan pada zaman sekarang ini? Wallahul musta'an.

4. Kami tidak tahu bagaimana jadinya jika dana ummat dikelola oleh kelompok "salafy". Barangkali laporan-laporan mereka hanya menyatakan bahwa, "dana tersebut digunakan oleh Ahlu Sunnah, untuk kegiatan dakwah Ahlu Sunnah, menyantuni anak-anak yatim Ahlu Sunnah, dan mendirikan mesjid-mesjid Ahlu Sunnah. Adapun dokumentasi kami ("salafy"), maka itu merupakan hal yang tidak perlu, apalagi terjadi khilaf di dalamnya tentang hukum foto, dan kami takut terjebak dalam kubangan hizbiyyah lantaran menampilkan label-label yayasan yang rentan melahirkan kebanggaan dan sikap tahazzub. Olehnya terima saja laporan ini, pokoknya disalurkan oleh Ahlu Sunnah dan untuk Ahlu Sunnah, titik". Bukti yang masih hangat dalam ingatan, adalah persoalan bantuan Yayasan al-Haramain untuk pembangunan Masjid markaz kelompok "salafy". Saat dimintai laporan berupa dokumentasi foto lengkap dengan lambang Yayasan al-Haramain sebagai kelengkapan laporan pada sang empunya dana yang disalurkan melalui Yayasan al-Haramain, kelompok "salafy" ini menolak bahkan uring-uringan. Seraya menyembunyikan lauhah (papan nama) al-Haramain tersebut. Makanya, Ust. Ikhwan Abdul Jalil, Lc (sebagai mandub al-Haramain untuk Sulawesi Selatan) mengambil inisiatif berziarah kepada mereka sekaligun meminta lauhah tersebut dikembalikan jika memang kelompok "salafy" tidak mau dan tidak membutuhkan. Namun apa yang terjadi, justru Khaidir malah mengusir Ust. Muhammad Ikhwan dari masjid-nya (yang merupakan hasil bantuan yayasan al-Haramain), lalu dijelaskan alasan pengusiran tersebut oleh Ust. Zulkarnain dalam muhadharahnya, bahwa Ust. Muhammad Ikhwan datang untuk mencuri !?. Yas Salaam, seperti ini-lah akhlaq Ustadz "salafy" yang katanya paling berhak menyarah kitab Bulughul Maram di kota Makassar ini.!!.

Sofyan Kholid mengatakan :

Sampai pada urusan pernikahan, mereka berusaha bagaimana agar Ikhwan dan Akhwat mereka hanya menikah dengan sesama mereka saja, tidak dari luar kalangan WI, tanpa mengecek dulu apakah orang yang dari luar WI yang hendak menikah dengan kadernya tersebut bermanhaj yang lurus atau tidak, hal ini benar-benar terjadi, hanya karena berhubungan dengan permasalahan pribadi, maka saya tidak menyebutkan nama-nama mereka.

Tanggapan:

1. Sekali lagi, ternyata dugaan kami benar. Seluruh tudingan-tudingan akh Sofyan hanya dibangun di atas permasalahan pribadi, yang kemudian dikait-kaitakan dengan manhaj WI secara keseluruhan. Boleh jadi yang melakukan hal ini hanya bersifat pesonal, yang kemudian secara zalim digeneralisir oleh Sofyan.

2. Masalah pernikahan, baik dalam proses pemilihan hingga persetujuan dikembalikan pada pribadi-pribadi yang akan menikah. Khususnya bagi seorang akhwat, dasar pertimbangan dalam menentukan pilihan mereka bukan hanya baiknya agama seseorang, tapi juga akhlak yang baik. Ini sebagaimana ditegaskan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiallahu anhu: "Apabila datang kepadamu seseorang yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkan-lah, sebab jika tidak maka akan terjadi fitnah di dunia dan kerusakan yang besar.[25] Perhatikan fikih hadits ini, pertama, bahwasanya sebuah pernikahan itu tidak hanya ditentukan oleh kebaikan agama seorang (lelaki), namun juga kelurusan akhlak dan kebaikan budi pekertinya. Kedua, dikarenakan kebaikan agama dan akhlak merupakan tuntutan dalam sebuah pernikahan, disamping kondisi syari'at Islam yang mengharamkan hubungan pranikah antara seorang wanita dan pria (pacaran), maka diperlukan peran pihak ketiga dalam membantu sang wanita melihat dan mengetahui kondisi agama dan akhlak pria yang bakal menjadi pendampingnya. Dan tentunya pihak ketiga di sini, adalah orang yang paling dekat atau dipercaya oleh sang wanita, baik itu bapak kandungnya, saudara lelakinya atau seorang yang benar-benar ia percaya. Akan tetapi, semua pihak-pihak yang kami sebutkan di sini, hanya sebatas memberi gambaran dan saran bagi pihak wanita, dan bukan sebagai pengambil keputusan apalagi memaksakan kehendak mereka. Nah, dalam hal ini, para asatidzah yang dipercaya dan dimintai konfirmasi tentang ikhwan yang ingin melamar seorang akhwat memberi penilaian terhadapnya, sebagaimana hadits Fathimah binti Qais yang datang meminta pertimbangan pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perihal dua pria yang hendak melamarnya, maka Rasulullah pun bersabda: "Adapun Abu Jahm, ia tidak pernah menurunkan tongkatnya dari pundaknya,[26] sedangkan Mu'awiyah ia adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta".[27] Olehnya, jangan salahkan mereka jika tidak memberi rekomendasi pada sebagian orang lantaran agama atau akhlaknya bermasalah. Merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, seorang akhwat yang dibina di atas ilmu syar'i dan akhlak islami terpuji, lalu dinikahkan dengan seorang yang buruk agamanya atau berperangai jelek serta menganggap sebagai taqarrub kepada Allah sifat kasar, mencela, menuding dan menjatuhkan vonis sesat terhadap orang lain, bahkan terhadap majelis dimana akhwat tersebut menimba ilmu. Karenanya, sebagai masukan, jika kawan-kawan "salafy" ingin agar lamaran ikhwah mereka dipertimbangkan di WI, maka yang paling utama adalah koreksi diri, akhlak dan perangai terhadap sesama kaum muslimin terlebih pada para ulama dan du'at.

3. Tapi jika Sofyan tetap ngeyel, bahwa fenomena pernikahan di atas sebagai timbangan hizbiyah, maka silahkan antum dan kelompok "salafy" berkaca diri. Siapa yang benar-benar masuk dalam timbangan ini, sang penuduh atau yang tertuduh. Ala kulli hal, banyak di antara akhwat WI yang telah menikah dengan ikhwah "salafi",[28] ikhwah Jama'ah Tabligh (sebab akhwatnya ngotot ingin menikah dan tidak mengindahkan berbagai pertimbangan),[29] bahkan IM.[30] Uniknya, sikap kawan-kawan "salafy" sama persis dengan ikhwah JT. Tidak ada rasa terima kasih terhadap "hadiah" akhwat dari WI. Sebab akhwat-akhwat yang datang minta pertimbangan para asatidzah untuk menikah dengan mereka, menyampaikan mubarrir, bahwa ikhwah-ikhwah tersebut memberi jaminan padanya untuk tetap mengikuti tarbiyah dan kajian-kajian ilmu syar'i, namun kenyataannya, janji-janji itu mereka khianati sendiri. Maka pertanyaan kami wahai Sofyan, adakah antum konsisten terhadap tuduhan yang antum bidikkan pada WI, bahwa dalam urusan pernikahan akhwat-akhwat "salafy" terbuka bagi siapa saja tanpa ada pertimbangan agama dan akhlak ikhwah yang hendak melamarnya?! Dan apakah antum tidak punya ghirah terhadap akhwat-akhwat antum jika datang kepadanya seorang yang agama dan akhlaknya bermasalah, lalu antum hanya diam saja lantaran takut terjebak dalam hizbiyyah?! Kami tidak tahu secara pasti, namun adakah akhwat–akhwat "salafi" yang menikah dengan ikhwah–ikhwah WI?! Kami khawatir, antum menyikapi WI seperti ahlul kitab, halal di nikahi akhwatnya, dan halal pula di cela, dighibahi, dan difitnah ikhwahnya !??.

Sofyan Khalid berkata:

Barangkali apa yang saya sebutkan ini hanyalah perbuatan sebagian orang, namun untuk menyebutkan ini hanyalah oknum terlalu sulit, sebab penyimpangan-penyimpangan yang mengarah kepada al-hizbiyyah tersebut begitu marak dan tersebar di kalangan WI.

Tanggapan:

Subhanallahil Adzim, ternyata dengan takdir Allah tersibak juga hakikat sebenarnya dari penyimpangan manhaj kelompok "salafy" yang diwakili oleh Sofyan Khalid. Luar biasanya, karena fadhihah tersebut keluar dari lisan (baca: tulisan) Sofyan sendiri. Secara jujur ia mengakui bahwa seluruh apa yang ia sebutkan tersebut berupa tudingan dan tuduhan terhadap WI, hanya didasarkan oleh perbuatan sebagian orang atau oknum tertentu, dan bukan sikap dari WI secara umum. Namun sayangnya, lantaran manhaj (baca: suud dzon) yang ia dapati dari para astidzah "salafy" yang menyatakan bahwa jika salah satu dari personal jama'ah tertentu terjebak dalam kesalahan, maka seluruh jama'ahnya halal untuk dituding, tanpa mengarahkan perkataan atau perbuatan personal itu kepada kemungkinan yang baik (al-mahmal al-hasan), maka nampak-lah penyimpangan tersebut dalam artikel ini. Padahal Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz sebagai wakil Lajnah Daimah dalam fatwanya tertanggal 17/6/1414 H, menukilkan sebuah atsar dari salaf yang menyatakan: "Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan persangkaan buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari lisan saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau arahkan pada (makna) yang baik". Allahul musta'an wa naudzubillah min hadza al-manhaj al-fasid.

Dan kami ulangi di sini, seandainya kami mau menggunakan timbangan dan manhaj Sofyan ini, maka akan berjubel tudingan dan tuduhan yang bakal diarahkan pada kelompok "salafy" berupa nisbat-nisbat terhadap firqah-firqah sesat dalam umat Islam, lantaran perbuatan sebagian oknum jahil dalam kelompok "salafy", namun al-hamdulillah sekali lagi, kami tidak sepicik mereka dan manhaj kami jelas.

Seandainya timbangan Sofyan ini digunakan untuk menilai seseorang atau jama'ah tertentu, maka boleh jadi kaum kuffar dan sekuler akan menjadikan alasan mencela seluruh kaum muslimin lantaran perbuatan zina, korupsi, bid'ah dan lain sebagainya yang dilakukan oleh oknum-oknum kaum muslimin. Namun al-hamdulillah, kami yakin bahwa metode ini menyimpang dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan berpijak.

Seandainya timbangan Sofyan ini dijadikan sebagai standar menilai sebuah jama'ah dan kelompok tertentu, maka yang paling bergembira dan mendulang keuntungan adalah agama Syi'ah, yang menjadikan kesalahan dan ketergelinciran sebagaian orang atau oknum Ahlu Sunnah sebagai hujjah untuk menghantam dan memojokkan dakwah Ahlu Sunnah wal Jama'ah secara keseluruhan….

Duh pembaca budiman, kami sampai kehabisan kata-kata untuk menjabarkan betapa rusaknya manhaj yang dibangun oleh Sofyan Khalid dan kelompok "salafy" ini. Dan cukuplah kami memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala agar menjaga umat ini, jangan sampai terjebak dan tertipu dengan permainan kata-kata, namun berujung kehancuran dan kebinasaan.

Sofyan Khalid berkata:

Demikianlah secuil catatan dari saya, meski belum mencakup keseluruhan penyimpangan yang diingatkan bahayanya oleh asatidzah Salafiyin. Namun harapan saya agar orang-orang WI yang membacanya tidak malah marah setelah mengetahui dalil-dalil syar’i tentang penyimpangan-penyimpangan yang ada (dari penjelasan asatidzah Salafiyin), dan juga tidak mengedepankan emosi ketika membacanya, sehingga berprasangka buruk kepada Penulis. Tetapi hendaklah mereka mengambil pelajaran darinya. Sebab, diantara tanda kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah menasehatinya, meskipun terkadang rasanya teramat pahit, sebab nasihat itu ibarat obat yang pahit rasanya, tapi faedahnya besar. Maka apabila ada kata-kata yang menusuk dan melukai hati mohon dimaafkan, karena kebenaran itu dari Allah, sedangkan kesalahan itu dari diri pribadi kami dan dari syaithan.

Tanggapan:

1. Syukran jazilan atas nasehat antum. Nasehat yang baik dan bermanfaat akan kami kenang dan amalkan insyaAllah. Adapun tudingan dan fitnah antum, maka kewajiban kami untuk menjawab serta menjelaskan kebenarannya pada umat. Ibnu al-Wazir rahimahullah berkata: "Jika sekiranya para ulama diam dari membela dan menjelaskan kebenaran, lantaran takut celaan makhluk, maka mereka telah menelantarkan banyak (kebenaran) dan takut takut terhadap kerendahan".[31]
2. Sayangnya "nasehat" antum tidak dibangun di atas hikmah sebagaimana anjuran Allah dan Rasul-Nya. Terkadang nasehat itu baik, namun tatkala disampaikan melalui cara-cara kasar dan tidak beradab, dapat dipastikan nasehat hanya sekedar hiasan bibir belaka. Dari judul "nasehat" ini pun sudah sangat menyakitkan, apalagi menelaah isi dan tudingan-tudingannya.
3. Benar, kadang nasehat itu terasa pahit, namun rasa pahit itu tidak sengaja dibuat-buat oleh sang pemberi nasehat. Apa gunanya nasehat jika dipastikan orang yang diberi nasehat bakal tidak menerimanya? Apa gunanya firman Allah Ta'ala yang memerintahkan untuk menyeru manusia ke jalan Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, jika seorang dai menghalalkan bahkan menjadikan sebagai bentuk qurbah celaan, hinaan, cercaan bahkan fitnah terhadap yang diberi nasehat?!.
4. Ini juga merupakan ciri unik kelompok "salafy" yang dapat kita jumpai hampir di seluruh buku-buku dan situs-situs mereka. Maunya hanya mereka saja yang menuding dan mencerca orang (itu-pun jika tudingannya sesuai hakikat sebenarnya), lalu sang tertuding tidak diberi hak menjawab dan klarifikasi atas tudingan tersebut. Hingga dengan entengnya Sofyan dan "salafy" lainnya, setelah puas menuding, mereka pun seakan berkata: "Sabar Ahki, jangan marah. Ini adalah nasehat bagi antum, dengar-dengar saja-lah, dan ambil pelajaran darinya, Yah, mungkin terasa pahit, seperti jamu, tapi faidahnya akan antum rasa kemudian, dan tidak usah menjawab. Sebab nasehat ini sudah pasti benar". Yah, seperti itulah kira-kira yang ingin disampaikan akh Sofyan setelah puas menuding dan menuduh tak berdasar terhadap orang lain termasuk para ulama dan du'at. Wallahul musta'an.

Sebagai penutup, kami ingin menasehati kepada para pemuda-pemuda "salafy" untuk menghentikan segala aktivitas yang justru merugikan umat Islam sendiri. Sebab, perbuatan membongkar aib-aib umat Islam dengan dalih "membantah bid'ah dan hizbiyah" merupakan kebatilan paling menyedihkan.[32] Apalagi, sikap tidak terpuji ini pada umumnya dibangun bukan atas ilmu dan bashirah, namun di atas kebencian dan tendensi pribadi. Masalah ini semakin serius seiring tersebarnya begitu banyak data-data (baca: aib-aib) kaum muslimin baik dalam skala individu maupun kelompok dan organisasi yang sengaja dipampang terbuka dalam situs-situs dan buku-buku kelompok "salafy". Siapakah diantara kaum muslimin yang bersih, suci dan bebas dari kesalahan dan aib?! Cukuplah kiranya, kami ingatkan mereka dengan firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui". (Qs: an-Nuur : 19).

Demikian pula, sebagai pengingat bagi diri kami dan juga ikhwah sekalian, kami ketengahkan perkataan para ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Syara' itu adalah keadilan, dan keadilan dalah syari'at, siapa yang meghukum dengan adil maka ia telah menghukum menurut syara', akan tetapi banyak diantara manusia menisbatkan apa yang ia katakan kepada syara' padahal sedikit pun bukan dari syari'at, akan tetapi yang ia katakan itu hanya berdasarkan, apakah karena kejahilan, kesalahan, kesengajaan atau kedustaan".[33]

Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah: "Sungguh Allah Ta'ala mencintai sikap inshof, bahkan ia merupakan perhiasan yang paling afdhal yang digunakan seorang lelaki, khususnya orang yang menetapkan dirinya sebagai hakam (pengambil keputusan) antara perkataan dan mazhab. Allah Ta'ala berfirman: "Dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kalian". (Qs: as-Syura' : 15), maka para ahli waris Rasul, kedudukan mereka adalah adil antara kelompok-kelompok, dan tidak boleh condong kepada salahsatunya lantaran adanya hubungan kekerabatan, mazhab, kelompok, atau karena ia panutannya, bahkan yang menjadi tuntutannya adalah keadilan, ia berjalan diatasnya, dan turun bersamanya, serta beragama dengan agama keadilan dan inshof".[34]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: "Termasuk keberkahan ilmu adalah berlaku inshof padanya, siapa yang tidak berlaku inshof maka ia tidak akan paham dan tidak pula memberi pemahaman".[35]

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan segenap shahabatnya hingga hari kiamat kelak. Selesai.


[1] . Lihat: Lisanul Arab, I/299.

[2] . Lihat: Majmu' al-Fatawa, 11/92. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[3] . Lihat: al-Farq Baina al-Firaq, h. 12.

[4] . Lihat: al-I'tishom, I/17.

[5] . I'laam al-Muwaqqi'ien, I/7-8.

[6] . Lihat: Majmu' al-Fatawa, III/451-453. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[7] . Fenomena ini begitu amat nampak dalam sebagian jama'ah-jama'ah Islam, tak terkecuali yang menisbatkan diri pada Ahlu Sunnah. Dimana sebagian mereka memberi peringatan keras bagi anggota atau murid-muridnya untuk tidak mendengar atau membaca keterangan-keterangan lain, selain apa yang telah mereka dapatkan dari guru-guru atau ustadz-ustadz mereka, dengan dalih bahwa semua itu termasuk syubhat yang harus dijauhi. Akhirnya, pengikut-pengikut awwam mereka tetap berada dalam kungkungan sikap fanatik terhadap jama'ah dan gurunya, dan tidak mau tahu apa yang terjadi di luar kelompoknya, yang boleh jadi jauh lebih mendekati kebenaran. Olehnya, kelompok ini pernah mengeluarkan daftar nama-nama para asatidzah (sekitar 86 orang) yang hanya dari mereka saja-lah boleh mengambil ilmu agama, yang sempat dimuat dalam situs www.salafy.or.id. Demikian pula yang paling nampak dalam mengaplikasikan ciri hizbiyah serupa ini adalah jama'ah sesat dan menyesatkan, Islam Jama'ah. Dimana hingga dalam pengkajian hadits-pun (dalam istilah mereka disebut manqul), diwajibkan hanya mengambil dari guru-guru mereka yang "katanya" memiliki sanad dari pendiri Islam Jama'ah, Hasan Ubaidah, hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

[8] . Lihat: Talbis Iblis, h. 400. Program al-Maktabah al-Syamilah. Kami pernah berdiskusi dengan seorang dari tokoh Jama'ah Tabligh. Dalam dialog tersebut kami banyak mengutarakan dalil-dalil dari al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, serta meluruskan jika yang ia gunakan hadits dhai'f atau palsu. Barangkali lantaran kesal dan tidak dapat mengeluarkan hujjah serupa, maka ia lantas berujar: "Antum tahunya hanya mengatakan, (hadits) ini shahih, ini dhai'f, ini maudhu', itu semua tidak berguna, mendingan antum ikut kami keluar di jalan Allah (khuruj fii sabilillah) !?". Demikian pula kami menyaksikan pemuda-pemuda yang tidak lagi peduli terhadap ilmu syar'i, lantaran disibukkan oleh kajian bongkar-membongkar kesalahan seseorang atau kelompok lain, atau muhadharah dalam rangka membedah kesesatan ustadz fulan, ulama fulan atau jama'ah fulaniyah. Akhirnya, mereka terus disibukkan oleh hal-hal ini ketimbang mendalami ilmu syar'i. Karenanya jangan heran, jika mereka ditanya tentang hal-hal mendasar dari ilmu agama ini mereka merasa kesulitan. Namun jika ditanya tentang Syaikh fulan atau ulama fulan, mereka bisa membuat satu ceramah lengkap dengan merinci secara detail segala aib dan kesalahan-kesalahan mereka. Wal'iyadzu billah.

[9] . Riwayat Ahmad dalam al-Zuhd dan ad-Darimi dalam Sunan-nya. Termasuk di antaranya, apa yang disebut dengan manhaj sirriyah. Yaitu, keyakinan satu jama'ah atau kelompok tertentu bahwa zaman sekarang merupakan fase dakwah sirriyah, dimana mereka menggelar segala hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan mereka baik yang berkaitan dengan akidah manhaj dan sebagainya secara sirriyah (sembunyi-sembunyi). Dan ini-lah yang dimaksud oleh perkataan Umar bin Abdul Aziz di atas. Sayangnya kelompok "salafy" yang kurang paham akan hal tersebut, mengeneralisir makna istilah sirriyah tersebut hingga pada masalah-masalah manajemen dan internal sebuah lembaga. Seakan segala hal yang ada dalam sebuah lembaga hingga pada perkara-perkara urusan internal, misalnya rapat-rapat internal, masalah gaji karyawan, masalah-masalah operasional dan lain sebagainya, harus dipampang dan disebarkan ke hadapan umat. Dan ini merupakan perkara yang mereka sendiri ingkari dan tidak lakukan. Adapun maksud dari sirriyah yang tercela, adalah menyembunyikan sesuatu dari hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama dan manhaj. Dan kalau mau jujur, justru sikap sirriyah model ini yang banyak menjebak kelompok "salafy". Banyak contoh yang bisa di angkat, tapi kami cukupkan percakapan Syaikh Farid al-Maliki (pernah menjadi orang dekat Syaikh Rabi' al-Madkhali) dan Syaikh al-Allamah Rabi' bin Hadi al-Madkhali, bahwasanya Syaikh Rabi' pernah mencela Syaikh bin Baz –rahimahullah-. Silahkan lihat: www.alathary.org atau www.madkhalis.com.feed//, lengkap dengan audio serta teks Arab dan inggris-nya.

Farid al-Maliki berkata saat berbicara dengan Syaikh Rabi' –berkaitan dengan celaannya terhadap Syaikh bin Baz rahimahullah.:

Farid: "Maaf wahai Syaikh, saya pernah mendengar anda –Allah, para malaikat serta seluruh manusia menjadi saksi-, saat itu kita berada di bandara; engkau berkata padaku, bahwa "Syaikh bin Baz telah mencela Salafiyah dengan celaan yang keras; seandainya saya wahai Syaikh, mengangkat telepon mengatakan ini dalam kerajaan Saudi Arabiyah –dan menyebarkan-: Syaikh Rabi' mencela (menyerang) Syaikh bin Baz, Syaikh Rabi' mencela Syaikh bin Baz, bagaimana pendapat anda?! Apakah anda meridhai hal ini dariku?!

Syaikh Rabi' menjawab: "Saya, memangnya apa yang saya maksudkan? Apa engkau tahu apa yang saya maksudkan ?

Farid menjawab: "Saya sangat paham maksud anda! Akan tetapi, jika saya kembali, dan berkata: "Syaikh –Rabi'- mencela bin Baz, bagaimana pendapat anda tentang hal ini, ya Syaikh?! Baiklah, apa pendapat engkau –wahai Syaikh- tentang hal ini?!

Syaikh Tarhib ad-Dausary [ini nama aslinya dan sebelumnya beliau lebih populer dengan penyebutan Abu Ibrahim bin Sulthan al-Adnani, penulis buku "al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa'rifuuha", yang selama ini majhul dan tidak diketahui] yang kebetulan ada di situ berkata: "Memang benar tuduhan ini?!

Syaikh Rabi' berkata: "Dengar…dengar…menurutmu, yang saya maksudkan itu apa?!

Farid al-Maliki berkata: "Saya tahu maksud anda ya Syaikh! Saya tahu maksud anda!.

Syaikh Rabi' berkata: "Apakah maksud saya?!

Farid al-Maliki berkata: "As-Syaikh tidak tahu permasalahan yang terjadi".

Rabi' berkata: "Tapi, tolong beri tahu padaku, dimana celaan yang aku katakan itu, apa yang saya maksudkan?

Farid berkata: "Ketika anda bertemu dengan Syaikh bin Baz, dan Syaikh mulai memuji Salman al-Audah dan Safar al-Hawali, dan beliau membela keduanya, anda marah mendengarnya, dan lantas mengatakan kalimat tersebut (pada saya). Saya berkata (mungkin) Syaikh sedang marah (yakni, Syaikh Rabi', (dan ini merupakan sangkaan baik dari Farid).

Maka Syaikh Rabi-pun menjawab: "Dengar…dengar…saya katakan ini antara saya dengan engkau saja. Jangan engkau engkau kabarkan kepada siapa-pun dari manusia.

Farid berkata: "Demi Allah, wahai Syaikh…

Syaikh Rabi' menjawab terbata-bata: "…mulai kali ini (sekarang) dan seterusnya hentikan!, perhatikan saya, ini antara saya dengan engkau saja! Engkau ingin bicara tentang saya, dan engkau telah mengatakan ini di depan Tarhib, dan engkau sekarang –ingin- menyebarkan tentang saya di majelis-majelis. Tolong, dengarkan saya, jangan engkau sebarkan tentang saya ini, barakallahu fiek...".

Pembaca budiman, demi Allah, kami mohon maaf karena harus mengetengahkan hal ini sebagai bukti ucapan kami, bahwa perkara sirriyah yang banyak dijadikan senjata oleh kelompok "salafy" menyerang gerakan dakwah Ahlu Sunnah selain mereka, ternyata begitu nampak dan nyata pada diri mereka. Wallahu a'lam.

[10] . HR. Bukhari dan Muslim .

[11] . Dinukil oleh penulis Taisir al-Aziz al-Hamid, h. 515.

[12] . Kalau Imam Ibnu Abdil Barr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan selain mereka dari kalangan ulama Ahlu Sunnah melarang imtihanun naas [menguji manusia/kaum muslimin] dengan kelompok, jama'ah dan sebagainya, maka kelompok "salafy" justru menganjurkan hal tersebut. Dalam sebuah tulisan salah seorang dari kelompok "salafy" dan ini merupakan realita yang tidak dapat dibantah, terlebih pada awal-awal era kemunculan gerakan "salafy": "Dengan demikian, ketika fitnah perpecahan dan perselisihan datang bertubi-tubi, bid'ah dan penyimpangan semakin menyebar, maka adalah suatu hal yang niscaya, menguji manusia dengan kesesuaian mereka terhadap Sunnah dan memilah-milah guru di dalam menuntut ilmu". (Lihat: Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman, bag. II, tuduhan ketiga). Jika pernyataan semacam ini tidak dikatakan sebagai gambaran nyata sikap fanatik hizbiyah, maka kami tidak tahu lagi. Wallahul musta'an.

[13] . Lihat: al-Intiqa', h. 35.

[14] . Lihat: Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman, bag. II.

[15] . Kami masih ingat, sekitar tahun 2007 yang lalu, saat diadakan Daurah Syar'iyyah di Pesantren al-Bina Bekasi (al-Hamdulillah kami sendiri hadir dalam acara tersebut, utamanya pada sesi tanya jawab ba'da shalat Ashar) yang disampaikan oleh Fadhilatus Syaikh Nasr Abdul Karim al-Aql (penulis buku Mujmal Ushul Aqidah Ahli Sunnah wal Jama'ah), maka diantara pertanyaan yang masuk (dan kami sangat yakin, bahwa pertanyaan itu berasal dari kelompok "salafy"), berbunyi, "Apa hukum tandzim dalam dakwah?!" Serentak beliau mengeluarkan jawaban yang membuat wajah-wajah mereka berubah pias. Beliau menjawab: "at-Tandzim fi ad-da'wah wajibun, bal fardhu…dst" [Tandzim dalam dakwah wajib, bahkan fardhu…..dst]".

[16] . Silahkan lihat penyataan ini dalam artikel Ust. Abdul Qadir, yang berjudul: "Terlarangkah Memakai Nisbah as-Salafiy atau Al-Atsariy?".

[17] . Termasuk diantaranya pembelaan kelompok "salafy" ini terhadap ulama-ulama dan ustadz-ustadz mereka, kendati jelas terjebak dalam kesalahan dengan hujjah-hujjah yang sangat dipaksakan, hingga memberi kesan berlebihan dan seakan mereka (para ulama dan ustadz-nya) itu maksum bebas dari segala salah dan cela.

[18] . Pembaca budiman, yang mengherankan, Ustadz Abdul Qodir al-Atsariy dalam artikelnya "Terlarangkah Memakai Nisbah As-Salafiy Atau al-Atsariy?", mencoba sekuat daya menta'wil maksud perkataan Syaikh rahimahullah ini. Sebab perkataan ini sangat menohok kelompok "salafy". Silahkan pembaca menilik sendiri bagaimana upaya Ust. Abdul Qadir al-Atsariy dalam takwil tersebut. Nampak sekali begitu tendensius, takalluf, dan sangat dipaksakan, hingga memberi kesan lucu dan tidak nyambung. Dimana dalam footnote 13 dari artikelnya, sang Ustadz sampai pada kesimpulan, bahwa salafiyah yang dimaksud oleh Syaikh al-Utsaimin adalah para "pengaku salafy" dari kalangan Hizbiyyun dan Ahli Bid'ah !?. Padahal sangat jelas beliau rahimahullah mentafshil (merinci satu persatu), yakni Ikhwaniyyun, Tablighiyyun dan Salafiyyun, sementara Ahli Bid'ah dan Hizbiyyun versi kelompok "salafy" adalah Ikhwanul Muslimin dan setiap kelompok yang memiliki kaitan dengan kelompok Ihkwanul Muslimin. Silahkan lihat contoh-contoh yang diutarakan oleh Ust. Abdul Qadir dalam artikel tersebut, seluruhnya berkisar pada Ikhwanul Muslimin dan yang dikait-kaitkan oleh kelompok "salafy" dengan Ikhwanul Muslimin. Demikian pula, Syarah Arba'in beliau rahimahullah ini, selain bersumber dari ceramah, ia-pun telah dibukukan dan dimuraja'ah langsung oleh beliau rahimahullah. Sangat tidak masuk akal jika yang beliau maksudkan adalah seperti apa yang diinginkan oleh Ust. Abdul Qadir dan kelompok "salafy". Sebab jika demikian yang beliau maksudkan, sudah tentu beliau tidak akan menggunakan lafadz yang mengandung kemungkinan akan menuai gelombang protes. Apalagi dengan menggunakan lafadz "salafiyah" yang makna hakikinya merupakan manhaj Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Di sisi lain, yang getol menggembar-gemborkan lafadz salafiyah atau salafy adalah kelompok Ust. Abdul Qadir, dan bukan kelompok-kelompok yang ia tuding sebagai maksud dari ucapan al-Utsaimin. Belum puas sampai di situ, dan setelah capek berputar-putar seputar takwil ucapan Syaikh al-Utsaimin, maka sampailah al-Ustadz Abdul Qadir pada inti dari dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan utamanya, yakni perkataan yang membuat kami dan seluruh pembaca terhenyak takjub: "Anggaplah –tapi ini jauh kemungkinannya- bahwa Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- mengingkari secara mutlak semua orang-orang yang menamai dirinya sebagai Salafiyyun atau menisbahkan diri kepada Salaf, maka kita tidak begitu saja menerima fatwa beliau, sebab ada ulama’-ulama’ yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat". Allah Maha Besar ! Beruntung yang mengucapkan perkataan ini adalah seorang Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, yang memiliki kedudukan tinggi di mata umat, hingga sebelum sampai pada kesimpulan akhirnya, Ust. Abdul Qadir dan selainnya harus bercapek-capek dulu mengais-ngais takwil. Seandainya selain beliau, maka pembaca sekalian sudah dapat menebak. Bukan hanya penolakan yang ia dapatkan, bahkan lebih dari itu, bonus ungkapan-ungkapan tak mengenakkan yang merupakan ciri unik kelompok "salafy" bakal dikantongi, sebagaimana yang dialami oleh Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid, saat karya fenomenal beliau "Tashnifun Naas Baina ad-Dzonni wal Yaqien, dicampakkan oleh mereka seraya dikata-katai sebagai karya terjelek!?.

Pembaca budiman, kalau ucapan Syaikh al-Utsaimin yang jelas menyebutkan salafiyah sebagai hizb, mereka (kelompok "salafy") berusaha mengais-ngais takwil-nya, maka bagaimana dengan Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah yang sama menyebut mereka sebagai orang yang bersembunyi di balik baju salafiyyah (lihat perkataan beliau setelah perkataan Syaikh al-Utsaimin di atas)?? Mengapa Ust. Abdul Qadir juga tidak berupaya untuk memberi takwil, bahkan langsung mengambil jalan pintas, yakni mencela karya beliau tersebut sebagai karya terjelek?? Duhai pembaca budiman, kalau sikap dan perbuatan seperti ini tidak dikategorikan sebagai sikap ta'asshub hizbiyyah, kami tidak tahu lagi. Wallahul Musta'an.

[19] . Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hadits ke - 28.

[20] . Yang oleh Ustadz Abdul Qadir al-Atsariy, dinyatakan sebagai karya terjelek yang pernah beliau tulis !!?

[21] . Lihat: ar-Ruduud, h. 401-402.

[22] . Lihat artikel Ust. Abdul Qadir, yang berjudul: "Terlarangkah memakai nisbah as-Salafiy atau al-Atsariy?".

[23]. Ini merupakan salah satu penghinaan dari sekian penghinaan-penghinaan kelompok "salafy" terhadap dakwah WI. Sebab, dengan menggunakan kalimat "diiklankan", padahal disana masih banyak kalimat-kalimat lain yang lebih pantas, seakan Sofyan hendak mengelabui umat, bahwa ada sesuatu yang hendak dijajakan dan dijual oleh WI melalui tazkiyah-tazkiyah tersebut, yang memberi indikasi makna bahwa WI mencari uang dengannya. Subhanallah, ini adalah buhtanun mubin (tuduhan sekaligus hinaan yang keji). Namun kami tidak terlalu heran dengan hal ini. Sebab demikian-lah perangai kawan-kawan "salafy", dimana tudingan-tudingan mereka terhadap dakwah WI dan selainnya dari gerakan Ahlu Sunnah wal-Jama'ah, sebagai jama'ah yang menyimpang, kebanyakan dilandasi oleh permasalahan "duniawi" dan tendensi pribadi. Dan kiranya Sofyan hanya sebagai penyambung dari apa yang dituduhkan oleh ustadz-ustadz "salafy" sebelumnya, diantaranya Ust. Zulkarnain dalam ceramah-nya yang kemudian dimuat dalam bentuk tulisan oleh situs kelompok "salafy" www.almakassari.com: "Kalau mengaku boleh saja mereka mengaku, dan perlu saya beritahu, pengakuannya kalau mereka mengatakan salafy itu ujung-ujungnya adalah duit". Juga perkataannya pada tempat lain: "Na’am, kemudian mendatangkan ulama-ulama dari Saudi, tapi kalau berbicara di kaset membicarakan pemerintahan Saudi dengan pembicaraan yang sangat keji dan tidak pantas. Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan".

[24] . Jami' al-Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, I/131.

[25] . HR. Imam at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Allamah asy-Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

[26] . Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ibarat ini memiliki dua makna yang masyhur. Pertama, bahwa ia (Abu Jahm) selalu melakukan safar (perjalanan jauh). Kedua, bahwasanya ia sering memukul wanita (istrinya). (Lihat: Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, X/97. Program al-Maktabah asy-Syamilah).

[27] . HR. Muslim (no 1480).

[28] . Bahkan belum lama ini, sekitar dua minggu lalu, yakni pada masa-masa penyusun Silsilah ini, datang telepon dari seorang akhwat bertanya dan minta pertimbangan tentang kedatangan seorang ikhwah "salafy" yang ingin mengkhitbah-nya. Lantaran nampak dari ucapan akhwat tersebut keinginan yang begitu kuat untuk segera menikah, maka setelah memberi pertimbangan dan bertanya tentang agama dan akhlak ikhwah tersebut, kami kembalikan keputusan padanya. Demi Allah, tidak ada kata-kata kasar, celaan, atau tahdzir terhadap ikhwah "salafy" tersebut. Dan akhirnya, berlangsung juga pernikahan tersebut, sementara ahkwat tersebut masih selalu berhubungan dengan keluarga (istri) kami. Alhamdulillah.

[29] . Nama Akhwat tersebut tidak perlu kami paparkan di sini, sebab Akhwat-nya pun telah berpulang ke rahmatullah, setelah banyak curhat akan sikap suaminya (yang banyak merintanginya dari thalabul ilmi) kepada istri kami. Semoga Allah merahmati beliau, sebab meninggal kala melahirkan anak keduanya, dan sempat mengucapkan kalimat syahadat.

[30] . Nama akhwat dan suaminya ada pada kami, namun bukan disini tempat untuk menyebutkan mereka satu persatu.

[31] . al-'Awashim min al-Qawashim, I/223.

[32] . Pembaca, barangkali yang paling diuntungkan dengan perbuatan kawan-kawan "salafy" dalam hal upaya dan kerja keras mereka membongkar aib dan rahasia-rahasia umat Islam adalah kaum kuffar dari kalangan Yahudi dan Nashara yang setiap detik dan menit bekerja menancapkan taring-taring konspirasi terhadap umat Islam. Mereka akan sangat berterima kasih atas informasi-informasi kelompok "salafy" ini yang langsung dapat mereka pungut dari situs-situs mereka secara cuma-cuma, termasuk www.almakassari.com, tanpa harus menguras dana yang besar dengan membentuk tim observasi dan peneliti. Dan sebagai seorang muslim yang bersaudara, kami berkewajiban mengingatkan al-akh Sofyan Khalid dan kelompok "salafy" akan mudharat perbuatan mereka ini terhadap umat Islam. Dalam bukunya yang terkenal Aqidah Shahihah wa Nawaaqiduha, Syaikh al-Allamah Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah merinci hal-hal yang dapat menyebabkan kekafiran seseorang, diantaranya menolong orang-orang kafir dalam memerangi Islam. Dan perbuatan ini –menurut beliau- dapat menyebabkan pelakunya murtad dari jalan Islam. Dalil yang beliau ketengahkan adalah firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (Qs: al-Maidah : 51).

Dalam fatwa Lajnah Daimah tertanggal 17/6/1414, dimana Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah merangkap sebagai ketuanya, ditegaskan sebuah perkara yang berkaitan dengan "tolong-menolong" dalam kebatilan ini. Fatwa tersebut berbunyi:

"Di masa ini telah tersebar banyak orang yang dikenal dengan ilmu dan dakwah kepada kebaikan terjatuh dalam pencelaan terhadap harkat dan kehormatan banyak saudara-saudara mereka –yaitu para da'i yang sudah dikenal-. Mereka juga mencela kehormatan para penuntut ilmu, para du'at dan para khatib. Mereka melakukan demikian secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka. Dan terkadang merekam pembicaraan tersebut dalam kaset-kaset yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan pada pengajian-pengajian umum di masjid-masjid. Metode yang mereka tempuh ini menyelisihi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…

"… metode ini memecahkan persatuan kaum muslimin dan merobek barisan mereka. Padahal kaum muslimin sangat membutuhkan persatuan dan menjauhi perceraiberaian dan perpecahan. Demikian pula begitu banyak isu-isu yang tersebar diantara mereka. Terlebih lagi, para da'i yang dicela termasuk kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikenal memerangi bid'ah dan khurafat, menghadang orang-orang yang menyeru kepada bid'ah dan khurafat, serta mengungkap dan membongkar rencana-rencana jahat serta makar mereka. Kami memandang adanya mashlahat dari perbuatan seperti ini, jika diarahkan bagi musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafik, atau dari kalangan ahli bid'ah, dan kesesatan lain yang senantiasa menunggu-nunggu kesempatan (menghancurkan Islam)".

"… perbuatan seperti ini membantu orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan buruk dari kalangan sekuler, para pengekor barat, kalangan atheis dan selainnya yang terkenal senang mencela para da'i dan berdusta tentang mereka, serta suka memprovokasi untuk melawan para da'i, sebagaimana tercantum dalam berbagai buku dan rekaman mereka. Bukanlah termasuk hak persaudaraan islamiyah sikap mereka yang terlalu terburu-buru –dalam mencela para da'i-. Hal ini membantu para musuh untuk menyerang saudara-saudara mereka dari kalangan para penuntut ilmu, da'i dan selainnya. (Lihat kelengkapan fatwa dalam Silsilah Pembelaan Terhadap Para Ulama dan Du'at, bag. II).

[33] . Majmu' al-Fatawa, XXXV/366.

[34] . I'lam al-Muwaqqi'ien, III/126.

[35] . Jami' Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, I/131.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...